Kamis, 12 November 2015

Cerpen Karya Peternak Unggas



Gee, Aku Berguru Pada Matamu
Moh. Ali Imron Rosidi*

Maafkan aku Gee, selama ini kau sudah kutuduh gila. Kini jelas sudah apa yang terjadi padamu  mungkin sedang kuhadapi juga.  Kau memang bebek buta yang hebat Gee. Tapi, aku tak perlu membutakan mataku untuk menyadari kedamaianku sekarang. Semua begitu terang saat kumulai memejamkan mata dan perlahan kumenemukan sesuatu. Betul Gee! Aku sedang menyaksikan diriku. Dan, senangnya kulihat rupaku.
              Semula aku ragukan pemandangan di sekelilingku. Aku tak seperti  berada di kandang becek kita itu. Kau pasti menduga aku akan panik. Tentu, bukankah kita bangsa bebek? kita akan gaduh bila mendapati hal-hal yang belum kita kenal.  
            Kita selalu mengikuti bebek yang paling lantang suaranya. Kemanapun ia lari sontak semua mengekor ke arahnya. Sepertinya panik menjadi sifat pemimpin bangsa kita Gee. Ini sangat melelahkan. Tapi, kau adalah perkecualian Gee! Kau seekor bebek yang selalu tenang. Badanmu paling besar dan kuat, meski kau enggan berebut makanan seperti lainnya. Dan aku sudah lama mempelajarimu meski awalnya sinis terhadapmu.
             Mengingatmu di sini, membantu redakan panikku. Kurasa ini betul-betul tempat baru dengan suasana yang aneh pula bagiku. Aku berada dalam sebuah lingkar kubah kelam tapi aku tak  merasa sesak tersekap. Dindingnya mengembang-kempis seolah mengikuti desau nafasku. Nah, dapatkah aku menghentikan nafasku sendiri? Karena hanya itu yang dapat menyakitiku. Seketika itu pula kurasakan diriku begitu pejal dan perkasa. Kurasa panik  tidak punya tempat di sini bahkan berubah dengan rasa takjub silih berganti. Kusorot dinding-dindingnya berkilau oleh cahaya. Ya dan iya! Itu cahaya-cahaya lembut yang terpancar dariku, dari sorot mataku ini.
            Kutatap agak lama dan dalam, dinding itu bergerak menjauhiku. Sejurus kemudian bentuknya menjadi cembung dan tetap hitam. Ternyata itu adalah salah satu dinding mata yang cantik. Ia tak berkedip saat kutatap. Kusadari  ia berusaha mengatur jarak pandang agar aku bisa memandangnya secara utuh. Ia bersayap dan berkaki sepertiku. Gee, kau dimana? Percaya tidak, rupa dia mirip wajahku. Seperti itulah pesonaku saat aku melakukan ritual sehabis mandi membayangkan diriku seorang raja. Tapi ini nyata Gee!  Sangat dekat kucermati helai demi helai bulu-bulu cahaya memendarkan wangian lembut  meresap ke sumsum tulang-tulang tubuhku.
Gee, kurasa situasi yang kualami ini sulit kujelaskan selain kepadamu. Inikah yang kau alami ketika kusinis kepadamu? Sering kulihat kau tersenyum sendiri. Jika teman-teman sering menudingmu kau pengkhayal bahkan mengolokmu sebagai bebek gila, maka sekarang kau tak sendiri Gee! Dihadapannya, mata itu menemukanku. Dan aku menjadi tabula rasa bagi dirinya, sang pemilik mata itu. Aku hanya menghadapi segala yang kurasa menjadi kuasa tindakannya. Kurasa aku selembut angin ditabuh dan bergetar entah berapa lama. Anehnya aku merasakan energi kebanggaan  dalam sekujur struktur sosoknya.  Maaf Gee, saat ini tak tertahankan aku berucap bahwa aku tenggelam dalam keagungan di didiriku. Ucapannya lebih gesit dari keinginanku.  “Kau telah mencapai diriku dengan keberanian pasrahmu,” katanya sebelum aku hanya ingin menagkui bahwa diriku hanya seekor bebek.
Dia menegaskan dengan dua sayap putihnya yang menjulur hampir mencapai leherku. Aku pun tak kuasa menahan liuk gerak tarian saat menyisir  setiap pandanganku terhadap ruas makna kata-katanya. Aku hanya bisa meliput berita rasa dan asa ini untukmu Gee. Aku telah menemukan kehidupan kata-katamu di saat kau menyadari usiamu disudahi oleh rencana majikan manusia itu. Aku masih ingin memanggil nama panjangmu sebagai Mosiyagee. Karena itulah kau kupanggil Gee, karena kau bebek pemberani. Orang-orang yang berkunjung ke kandang kita selalu memperoleh sejarah asal kita. Majikan kita menyebut kita sebagai bangsa Anas Moscha yang berasal dari habitat liar daratan sub tropis. Aku tak tahu, dia bilang tempatnya di Amerika Utara. Kau sering dengar, silih berganti para pengunjung mengungkapkan kata-kata bahwa kita bebek istimewa karena besar, putih dan cantik. Bukankah itu pujian Gee?
Tetapi, acapkali suara pujian seperti itu menyapa kita, justru makin tidak menyenangkanmu. Suara desismu memberitahuku. Kini baru kutahu alasan sikapmu. Semestinya pujian dapat menyenangkan kita jika kebanggaannya menjadi milik kita sendiri. Kau benar Gee, kebanggaan atas daya tarik tubuh kita milik majikan kita. Dia  yang selalu menyapa orang-orang dengan suara keras-keras: “Selamat datang di Jelantik Farm.”  Dia yang selalu datang mendekatimu, lalu menegaskuan bahwa kaulah bebek yang paling besar dan istimewa.
Aku cuma masih ragu kata mereka Gee apakah kita betul-betul masih berasal dari nenek moyang yang sama? Saat itu majikan kita memiliki perhatian khusus kepadamu. Setiap hari ia selalu lebih memilih mendekatimu. Dulu kau memang bebek yang paling besar. Kau istimewa karena buta. Kau memang tidak tahu, majikanmu sering tertawa saat kau salah-salah mendatangi makanan yang agak jauh dari posisimu. Padahal kau ini bebek pelacak suara dan aroma yang paling gigih. Justru majikan kita yang tak sabar, lalu mengangkatmu ke kancah makanan kita.
Tidakkah kau takut sepertiku Gee?. Dari kejauhan sering kulihat kau tampak begitu akrab dengan majikan manusia itu.  Pernah aku penasaran dan sekuat tenaga memberanikan diri untuk tak lari saat menghadapi dentum langkah kakinya mendekatiku.  Ternyata ia lebih suka kepadamu. Mungkin  majikan itu menyukaimu karena kamu memiliki pembawaan yang tenang dan bukan penakut sepertiku. Begitu pula teman-teman bebek lain lebih parah lagi. Bawaan pribadi mereka serba panik lalu bereaksi lari dan lari. Itu sangat melelahkan Gee dan sering berakibat dehidrasi serius.
Tahukah kamu Gee, aku ingin teman-teman bebek kita tahu bahwa aku belajar darimu. Aku tak ingin lagi  teman-teman kita berpendapat miring tentangmu. Aku tak ingin buta matamu membuat mereka mengira kau tak gentar meski lehermu bersebelahan dengan benda tajam. Kau tak merasa terteror oleh sekelilingmu. Itu yang membuatmu kau tak pernah stress akibat panik. Dan kuintip dari celah dinding kandang itu lehermu mengeluarkan cairan merah pekat melumuri benda tajam mengkilat di tangan majikan kita. Setelah itu kusaksikan kau sangat mabuk. Kau  menari-nari ke sana kemari sampai aku kehilangan pandangan ke arahmu. Sejak itu aku mendengar sisa desis-desis suaramu sebagai bebek jantan sepertiku. Suaramu seperti sedang merayakan kemerdekaan. Dan sudah lama suara itu selalu ingin kutirukan manakala setiap hari kumelepas tenaga di atas punggung kawan-kawan betina yang tengah birahi.
Aku tak peduli seberapa besar tubuhmu sekarang. Kau bebek yang istimewa sekalipun tubuhmu paling kotor dan bau di antara kami. Satu musim hujan berlalu kurindukan kau untuk menebak apakah majikan kita sudah menimbun berkarung-karung pakan yang aromanya didominasi oleh wangi kot. Sebenarnya itu kelebihan lain dirimu yang tidak disadari oleh teman-teman bebek.
Andai kau masih di sini, aku ingin terus terang belajar kepadamu meskipun  prestasi tubuhmu kukira sudah kulampaui. Mungkin tubuhku dua kali lebih besar dari tubuhmu yang dulu. Aku kini menjadi bebek yang sering dibicarakan orang. Tapi Gee, aku tak berharap kau tahu bahwa aku selalu menirumu. Karena kini aku sedang terlihat konyol di mata teman-teman kita. Mungkin mereka juga sinis dengan ritualku memejam mataku saat terjadi kegaduhan bebek. Aku ingin merasakan sesuatu di balik pelupuk mataku. Aku ingin memperoleh sesuatu lebih dari sekedar mengetahui pembawaan sikap tenangmu.
Aku mulai merasa berhasil tatkala majikan kita selalu memperhatikanku. Dan sejak tadi kurasa dia sudah memegangiku. Aku sepertimu, aku tidak berontak. Aku sudah lama berlatih tenang dan tidak panik.  Dan betul adanya Gee, kebanggaanku sebagai bebek seketika menyusup ke sekujur tubuhku tatkala kudengar suara bismillahi allaahu akbar. Dan aku menyeberang menjadi dirinya melalui bentangan sayap putihnya yang sejak tadi kutunggu untuk betul-betul merangkul leherku.
Jelantik, 4 September 2015
*) Penulis Pendiri Forum Ekonomi Rakyat Tani (FERATANI) P. Lombok