MENAKAR CALON PEMIMPIN PERANG UNTUK KEMAJUAN NTB
Oleh: Moh. Ali Imron Rosidi
Jika mencermati acara debat calon gubernur (cagup) dan
wakil gubernur (cawagub) yang
diselenggarakan KPUD NTB dan disiarkan secara live oleh salah satu stasiun TV nasional pada 27 April lalu, maka
masyarakat dapat menyaksikan visualisasi sosok empat pasangan calon NTB 1 yang
akan menjadi Jenderal pembangunan daerah. Tidak hanya kenal wajah, tetapi
diharapkan juga dapat mengenali program-program janji jika salah satu dari
mereka terpilih memenangi suara rakyat yang akan disuling pada 13 Mei 2013
mendatang.
Harapan lainnya, rakyat dapat melihat acara debat itu
tidak sekedar acara sosialisai KPUD yang biasa, yang normatif, setelah KPUD
mengumumkan status calon tetap pasangan cagub cawagub sebulan sebelumnya. Lebih penting lagi rakyat NTB ingin acara
debat yang dikemas dalam sistem panelis itu sebagai bentuk uji kelayakan publik
untuk mengetahui siapakah di antara calon itu yang dapat menawarkan ‘asupan
spirit’ sebagai sumber energi inspiratif untuk memajukan daerah. Fakta bahwa
alam NTB yang kaya tetapi belum menjadikan warga penghuninya terangkat status
kesejahteraannya ini menjadi awal masalah. Karena itu NTB tidak hanya
membutuhkan pemimpin yang kuat dari sisi legitimasi politik, tetapi juga
berkarakter pemimpin perang.
Isitilah perang bisa sangat menyeramkan ketika
berkonotasi dengan dampak bencana yang ditimbulkannya. Namun, perang adalah
kebutuhan manusia sepanjang masa. Ia adalah spirit yang melekat (spotted) pada
setiap proses (individu atau kelompok) menuntut adanya perubahan. Sejujurnya
kita membutuhkan spirit perang ini untuk memberantas kelemahan kita sebagai
individu anggota kelompok dan sebagai warga dunia. Spirit perang ini sebagai
bentuk kesiapan kemanusiaan kita untuk mencegah potensi bencana perang itu
sendiri dari pengabaian atas kendali nilai kemanusiaan.
Kedaulatan politik NKRI sudah dinyatakan sejak hampir
7 dasa warsa yang lalu. Berikutnya, kedaulatan ekonomi menjadi tujuan simultan
yang mengaliri tubuh RI untuk menjadi negara adil dan makmur. Karena itu model
pengelolaan negara oleh rezim pemerintahan kita harus dapat mencerminkan
strategi menciptakan jiwa yang adil dan keraga-an fisik yang makmur. Di
sinilah, membangun ekonomi pun harus dipahamkan dalam agenda politik daerah
sebagai program perang. Spirit ini nantinya menjadi rujukan politis untuk
memberi tekanan pada model prioritasi angaran belanja daerah. Sistem
penganggaran yang dibuat harus dibuat
sinkron terhadap perjuangan memerangi kemiskinan dalam rangka meningkatkan mutu
akses warga negara memperoleh jaminan layanan dasar keamanan dan kenyamanan
melalui bidang-bidang yang dikelola pemerintah.
Secara umum, kita bisa lihat para cagub-cawagub
mengkomunikasikan janji program masih berkutat pada pandangan normatif tentang
bagaimana meningkatkan bidang layanan kesehatan, pendidikan dan pemerataan
infrastruktur antara satu sama lainnya masih mirip-mirip saja. Mereka pada dasarnya masih membonceng narasi skema
besar kebijakan yang sudah ada dalam system perencanaan pembangunan nasional
yang sebenarnya masih sebatas rujukan ‘diktat’ murni. Bukankah masing-masing
daerah memiliki masalah yang khas yang menuntut solusi secara karakter khas
kedaerahan pula.
Selain itu, narasi janji program para pasangan
cagub-cawagub terasa masih terbawa oleh arus fragmentasi nomenklatur program
kepartaian untuk didesiminasikan di forum legislatif. Cagub-cawagub bukanlah calon
pemimpin yang didaulat oleh kelompok geng politik atau gerombolan adventurer pengusaha masa.
Adakah dari cagub-cawagub itu yang sudah berani
memberikan gambaran bagaimana peningkatan ekonomi dapat dilaksanakan secara
padu dalam sistem komando perang ekonomi semesta di daerah NTB? Masing-masing
calon belum ada yang signifikan memberikan pemaparan mengenai program
peningkatan ekonomi dalam pendekatan status perang.
Spirit perang sebagai status membangun daerah ini
sepertinya dikesampingkan oleh para pemimpin lokal atau daerah. Sejak
globalisasi menjadi ombak besar dalam tata baru ekonomi dunia modern, munculah organisasi-organisasi
ekonomi kawasan yang beranggotakan antar Negara. Contohnya adalah APEC untuk
tingkat negara-negara di Asia Pasifik; ASEM untuk tingkat ASEAN; WTO untuk
tingkat organisasi dunia. Selain itu juga muncul gerakan solidaritas kelompok
negara Selatan-Utara dalam Forum G21 dan G7, bersatunya sistem mata uang Eropa dan masih banyak lagi forum ekonomi
kawasan di belahan benua. Kesemuanya adalah bentuk reaksi nyata dalam rangka
mempersiapkan diri menghadapi pertempuran pasar bebas sebagai dampak utama era
globalisasi.
Gambaran di atas mengandung pesan bahwa globalisasi adalah
perang ekonomi dunia yang tangible, nyata. Ia dapat mengancam serta membantai
ekonomi rakyat di daerah yang kaya SDA sekalipun –seperti NTB. Para pemimpin
daerah yang belum menganggap masalah ini sebagai serius untuk diadvokasikan
kepada warganya, maka sama artinya pemimpin itu akan ‘menyetor nyawa‘ rakyatnya
untuk perang ekonomi yang belum mereka sadari.
Dalam perang semesta ekonomi ini, negara tidak hanya
wajib membekali warganya dengan alutsita (alat utama system persenjataan)
perang ekonomi buat warganya, melainkan juga pemimpinnya harus dapat
mengarahkan rakyatnya untuk memenangi pertempuran ekonomi yang khas dengan
potensi pengembangan ekonominya. NTB dapat memenangi pertempuran ekonomi
melalui pengembangan kluster industry wisata dan pertanian. Maka, melalui
pendekatan spirit perang ini pemerintah perlu menyediakan alutsita yang handal
buat pelaku (tentara) ekonomi, dari aspek hulu dan hilirnya.
Perlu diingat bahwa pada dasarnya musuh utama dalam
perang ekonomi adalah kemiskinan universal di level individu anggota kelompok
masyarakat akar rumput. Dalam konteks ekonomi pertanian di NTB, melalui spirit
perang ini pemerintah harus senantiasa memberikan perbaikan agenda kebijakan
dalam rangka menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dengan
memaksimalkan produktivitas lahan, menciptakan sistem
inti plasma yang pro job, pro poor, pro growth, dan pro environment,
revitalisasi sarana dan prasarana, rekonstruksi hilirisasi, reformulasi pasar
dalam negeri dan luar negeri, harmonisasi peraturan, dan sinkronisasi sistem
agribisnis dan agroindustri.
Pilkada langsung NTB tahun 20013 ini berlangsung pada
bulan Mei. Warga NTB sedang berproses untuk menentukan figur pemimpin tepat,
yaitu figur yang diharapkan dapat memberikan energi inspirasi buat perbaikan
NTB ke depan. Bulan Mei juga berkenaan
dengan momentum peringatan hari Pendidikan Nasional (2 Mei), hari Buruh Sedunia
(3 Mei) dan hari kebangkitan nasional (20 Mei). Kita semua berharap agar itu
semua dapat dilaksanakan dengan lancar dan dijadikan momentum penting bagi
upaya menyediadakan solusi kebangkitan NTB menuju millennium 3.
*) Penulis adalah
pendiri Forum Ekonomi Rakyat Tani (FERATANI)