Gee, Aku Berguru
Pada Matamu
Moh. Ali Imron
Rosidi*
Maafkan
aku Gee, selama ini kau sudah kutuduh gila. Kini jelas sudah apa yang terjadi
padamu mungkin sedang kuhadapi juga. Kau memang bebek buta yang hebat Gee. Tapi, aku
tak perlu membutakan mataku untuk menyadari kedamaianku sekarang. Semua begitu
terang saat kumulai memejamkan mata dan perlahan kumenemukan sesuatu. Betul
Gee! Aku sedang menyaksikan diriku. Dan, senangnya kulihat rupaku.
Semula aku ragukan pemandangan di
sekelilingku. Aku tak seperti berada di kandang
becek kita itu. Kau pasti menduga aku akan panik. Tentu, bukankah kita bangsa
bebek? kita akan gaduh bila mendapati hal-hal yang belum kita kenal.
Kita selalu mengikuti bebek yang
paling lantang suaranya. Kemanapun ia lari sontak semua mengekor ke arahnya.
Sepertinya panik menjadi sifat pemimpin bangsa kita Gee. Ini sangat melelahkan.
Tapi, kau adalah perkecualian Gee! Kau seekor bebek yang selalu tenang. Badanmu
paling besar dan kuat, meski kau enggan berebut makanan seperti lainnya. Dan
aku sudah lama mempelajarimu meski awalnya sinis terhadapmu.
Mengingatmu di sini, membantu
redakan panikku. Kurasa ini betul-betul tempat baru dengan suasana yang aneh pula
bagiku. Aku berada dalam sebuah lingkar kubah kelam tapi aku tak merasa sesak tersekap. Dindingnya mengembang-kempis
seolah mengikuti desau nafasku. Nah, dapatkah aku menghentikan nafasku sendiri?
Karena hanya itu yang dapat menyakitiku. Seketika itu pula kurasakan diriku begitu
pejal dan perkasa. Kurasa panik tidak
punya tempat di sini bahkan berubah dengan rasa takjub silih berganti. Kusorot
dinding-dindingnya berkilau oleh cahaya. Ya dan iya! Itu cahaya-cahaya lembut
yang terpancar dariku, dari sorot mataku ini.
Kutatap agak lama dan dalam, dinding
itu bergerak menjauhiku. Sejurus kemudian bentuknya menjadi cembung dan tetap
hitam. Ternyata itu adalah salah satu dinding mata yang cantik. Ia tak berkedip
saat kutatap. Kusadari ia berusaha mengatur
jarak pandang agar aku bisa memandangnya secara utuh. Ia bersayap dan berkaki
sepertiku. Gee, kau dimana? Percaya tidak, rupa dia mirip wajahku. Seperti
itulah pesonaku saat aku melakukan ritual sehabis mandi membayangkan diriku
seorang raja. Tapi ini nyata Gee! Sangat
dekat kucermati helai demi helai bulu-bulu cahaya memendarkan wangian lembut meresap ke sumsum tulang-tulang tubuhku.
Gee,
kurasa situasi yang kualami ini sulit kujelaskan selain kepadamu. Inikah yang
kau alami ketika kusinis kepadamu? Sering kulihat kau tersenyum sendiri. Jika teman-teman
sering menudingmu kau pengkhayal bahkan mengolokmu sebagai bebek gila, maka sekarang
kau tak sendiri Gee! Dihadapannya, mata itu menemukanku. Dan aku menjadi tabula
rasa bagi dirinya, sang pemilik mata itu. Aku hanya menghadapi segala yang
kurasa menjadi kuasa tindakannya. Kurasa aku selembut angin ditabuh dan
bergetar entah berapa lama. Anehnya aku merasakan energi kebanggaan dalam sekujur struktur sosoknya. Maaf Gee, saat ini tak tertahankan aku berucap
bahwa aku tenggelam dalam keagungan di didiriku. Ucapannya lebih gesit dari
keinginanku. “Kau telah mencapai diriku
dengan keberanian pasrahmu,” katanya sebelum aku hanya ingin menagkui bahwa
diriku hanya seekor bebek.
Dia
menegaskan dengan dua sayap putihnya yang menjulur hampir mencapai leherku. Aku
pun tak kuasa menahan liuk gerak tarian saat menyisir setiap pandanganku terhadap ruas makna
kata-katanya. Aku hanya bisa meliput berita rasa dan asa ini untukmu Gee. Aku telah
menemukan kehidupan kata-katamu di saat kau menyadari usiamu disudahi oleh
rencana majikan manusia itu. Aku masih ingin memanggil nama panjangmu sebagai Mosiyagee.
Karena itulah kau kupanggil Gee, karena kau bebek pemberani. Orang-orang yang
berkunjung ke kandang kita selalu memperoleh sejarah asal kita. Majikan kita menyebut
kita sebagai bangsa Anas Moscha yang
berasal dari habitat liar daratan sub tropis. Aku tak tahu, dia bilang
tempatnya di Amerika Utara. Kau sering dengar, silih berganti para pengunjung
mengungkapkan kata-kata bahwa kita bebek istimewa karena besar, putih dan
cantik. Bukankah itu pujian Gee?
Tetapi,
acapkali suara pujian seperti itu menyapa kita, justru makin tidak
menyenangkanmu. Suara desismu memberitahuku. Kini baru kutahu alasan sikapmu.
Semestinya pujian dapat menyenangkan kita jika kebanggaannya menjadi milik kita
sendiri. Kau benar Gee, kebanggaan atas daya tarik tubuh kita milik majikan
kita. Dia yang selalu menyapa
orang-orang dengan suara keras-keras: “Selamat datang di Jelantik Farm.” Dia yang
selalu datang mendekatimu, lalu menegaskuan bahwa kaulah bebek yang paling
besar dan istimewa.
Aku
cuma masih ragu kata mereka Gee apakah kita betul-betul masih berasal dari nenek
moyang yang sama? Saat itu majikan kita memiliki perhatian khusus kepadamu. Setiap
hari ia selalu lebih memilih mendekatimu. Dulu kau memang bebek yang paling
besar. Kau istimewa karena buta. Kau memang tidak tahu, majikanmu sering
tertawa saat kau salah-salah mendatangi makanan yang agak jauh dari posisimu. Padahal
kau ini bebek pelacak suara dan aroma yang paling gigih. Justru majikan kita
yang tak sabar, lalu mengangkatmu ke kancah makanan kita.
Tidakkah
kau takut sepertiku Gee?. Dari kejauhan sering kulihat kau tampak begitu akrab
dengan majikan manusia itu. Pernah aku
penasaran dan sekuat tenaga memberanikan diri untuk tak lari saat menghadapi
dentum langkah kakinya mendekatiku. Ternyata
ia lebih suka kepadamu. Mungkin majikan
itu menyukaimu karena kamu memiliki pembawaan yang tenang dan bukan penakut
sepertiku. Begitu pula teman-teman bebek lain lebih parah lagi. Bawaan pribadi mereka
serba panik lalu bereaksi lari dan lari. Itu sangat melelahkan Gee dan sering
berakibat dehidrasi serius.
Tahukah
kamu Gee, aku ingin teman-teman bebek kita tahu bahwa aku belajar darimu. Aku
tak ingin lagi teman-teman kita berpendapat
miring tentangmu. Aku tak ingin buta matamu membuat mereka mengira kau tak
gentar meski lehermu bersebelahan dengan benda tajam. Kau tak merasa terteror
oleh sekelilingmu. Itu yang membuatmu kau tak pernah stress akibat panik. Dan kuintip dari celah dinding kandang itu
lehermu mengeluarkan cairan merah pekat melumuri benda tajam mengkilat di
tangan majikan kita. Setelah itu kusaksikan kau sangat mabuk. Kau menari-nari ke sana kemari sampai aku
kehilangan pandangan ke arahmu. Sejak itu aku mendengar sisa desis-desis
suaramu sebagai bebek jantan sepertiku. Suaramu seperti sedang merayakan
kemerdekaan. Dan sudah lama suara itu selalu ingin kutirukan manakala setiap
hari kumelepas tenaga di atas punggung kawan-kawan betina yang tengah birahi.
Aku
tak peduli seberapa besar tubuhmu sekarang. Kau bebek yang istimewa sekalipun
tubuhmu paling kotor dan bau di antara kami. Satu musim hujan berlalu kurindukan
kau untuk menebak apakah majikan kita sudah menimbun berkarung-karung pakan yang aromanya didominasi oleh wangi kot. Sebenarnya itu kelebihan lain
dirimu yang tidak disadari oleh teman-teman bebek.
Andai
kau masih di sini, aku ingin terus terang belajar kepadamu meskipun prestasi tubuhmu kukira sudah kulampaui. Mungkin
tubuhku dua kali lebih besar dari tubuhmu yang dulu. Aku kini menjadi bebek
yang sering dibicarakan orang. Tapi Gee, aku tak berharap kau tahu bahwa aku
selalu menirumu. Karena kini aku sedang terlihat konyol di mata teman-teman
kita. Mungkin mereka juga sinis dengan ritualku memejam mataku saat terjadi
kegaduhan bebek. Aku ingin merasakan sesuatu di balik pelupuk mataku. Aku ingin
memperoleh sesuatu lebih dari sekedar mengetahui pembawaan sikap tenangmu.
Aku
mulai merasa berhasil tatkala majikan kita selalu memperhatikanku. Dan sejak
tadi kurasa dia sudah memegangiku. Aku sepertimu, aku tidak berontak. Aku sudah
lama berlatih tenang dan tidak panik.
Dan betul adanya Gee, kebanggaanku sebagai bebek seketika menyusup ke
sekujur tubuhku tatkala kudengar suara bismillahi
allaahu akbar. Dan aku menyeberang menjadi dirinya melalui bentangan sayap
putihnya yang sejak tadi kutunggu untuk betul-betul merangkul leherku.
Jelantik, 4
September 2015
*) Penulis Pendiri
Forum Ekonomi Rakyat Tani (FERATANI) P. Lombok